Kita Usahakan Rumah Itu.

“They say ‘home is where the heart is’, so mine will be wherever they are.”
tags & notes: platonic love, canon compliant, fluff, matthew-centric (written in his pov), written in bahasa (and a little bit of english) + an (probably) unrelated tag: found family (because that is just zb1 in a nutshell). also, this is my first time writing mostly (like 95% of it) in bahasa indonesia. so if you see anything that’s awkwardly phrased/the wrong choices of words, i am deeply sorry. enjoy!
Bahkan saat mereka bersembilan diantar langsung menuju apartemen yang akan menjadi dorm mereka, Matthew masih merasa bahwa semua ini hanya mimpi. Setelah selesai melepas rindu dengan keluarga mereka yang hadir, serta mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman mereka sambil berjanji untuk tetap saling menghubungi satu sama lain, mereka langsung masuk ke dalam tiga mobil berbeda bersama dengan seluruh barang-barang mereka. Bekas air mata masih terasa segar di pipinya, kupingnya masih berdengung, dan jantungnya masih belum kembali berdetak normal. Euforia masih sangat manis di lidahnya, Matthew pikir dia tidak akan pernah merasakan hal seperti ini lagi seumur hidupnya.
Apartemen tempat mereka akan tinggal selama dua setengah tahun kedepan sama seperti dorm para idol pada umumnya. Sebuah apartemen standar di Seoul yang agensi mereka sewa. Dengan badan yang lelah, mereka membawa semua koper dan barang-barang lainnya masuk. Mereka yang kecil sibuk melalukan room tour dari satu ruangan ke ruangan yang lain, matanya berbinar setiap mereka ingat bahwa ini semua hasil dari kerja keras mereka. Mereka yang besar sibuk merapikan barang-barang agar tidak ada yang tersandung, matanya ikut berbinar melihat yang kecil bahagia.
Matthew sendiri, dia terpaku berdiri di tengah ruang tamu, rasa tidak percaya masih menyelimuti pikirannya. I really made it… Wait, I really made it? Hanya itu yang berputar-putar di otaknya. Dia tidak sadar berapa lama dia sudah berdiri di situ sampai ada tangan yang memeluknya dari samping. Kehangatan yang Matthew hanya dapat rasakan melalui Hanbin membawa kakinya kembali berpijak ke bumi bersama dengan pikirannya.
“Jangan bengong, dong,” Hanbin tertawa sambil mengusap-usap pundak Matthew. “Mikirin apa sih? Bagi-bagi dong sama aku.”
Matthew tertawa canggung, merasa seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang memalukan. But this is Hanbin, pikir Matthew, he’s not going to laugh at me for it.
“Masih kaget,” Matthew akhirnya berhasil mengatakan. “Kayak, ini beneran aku bakal debut? Kita bakal debut bareng? Aku… bingung? Tapi aku juga seneng, seneng banget…”
Mata hangat Hanbin menatap Matthew dengan sangat intens, Matthew hampir memalingkan matanya. “Aku paham, aku juga ngerasa gitu dari tadi. Bahkan sampe kita masuk ke sini aku juga masih mikir, ‘ini bener, nih, kita udah bener-bener bakal debut? Ngga bakal ada mission tambahan?’”
Matthew tertawa kecil saat mendengar perkataan Hanbin. Merasa lega saat tahu bahwa perasaannya tidaklah aneh.
“I’m happy with the team,” Matthew mengaku. “Mungkin masih ada beberapa orang yang aku belom deket banget, tapi I have you, and that’s enough.”
Hanbin menarik Matthew ke dalam pelukan terhangat yang pernah Matthew rasakan dalam dua puluh satu tahun hidupnya.
“We’ll work it out together,” Hanbin berbisik. “I’m happy with the team too, and thank you for being here.”
Malam itu, Jiwoong, Hanbin, dan Hao mengajak semuanya berkumpul di ruang tengah untuk makan malam bersama. Kebanyakan, bahkan hampir semua, dari mereka tidak sempat makan sebelum final dimulai, terlalu gugup untuk melakukan apapun. Sekarang mereka sudah keluar dari seragam abu-abu ke dalam baju rumah, perut mereka merengek untuk diisi sesuatu.
Makan malam diisi dengan obrolan mengenai semua yang terjadi malam itu. Matthew tidak terlalu banyak berbicara, cukup senang dengan mendengarkan dan tertawa saat ada yang mengatakan sesuatu yang lucu. Terdapat beberapa momen di mana mereka berhenti berbicara dan hanya menikmati makanan masing-masing dan keberadaan satu sama lain dalam keheningan.
Sejujurnya, Matthew sempat takut bahwa makan malam bersama ini akan menjadi canggung. Tetapi mungkin itu hanya kebiasaan overthinking-nya yang mengelabui pikirannya. Mungkin karena pada malam ini, mereka berbagi rasa lelah dan bahagia yang sama, sehingga di saat mereka hening pun tetap terasa sangat nyaman.
Mereka mengakhiri perbincangan malam itu dengan mengatakan perasaan mereka masing-masing. Matthew mendengarkan semuanya berbicara dengan seksama, hampir menangis saat Hanbin mengatakan bahwa dia sangat bersyukur bisa berada di sini sambil melihat ke arahnya. Yujin dan Gyuvin menangis deras saat Jiwoong mengatakan bahwa ini mungkin momen paling bahagia dalam hidupnya. Matthew tersenyum melihat rasa cinta kedua adiknya itu terhadap Jiwoong, tetapi dia tahu dia sendiri juga tidak berbeda jauhdari mereka. Ricky menangis dalam diam saat Hao menangis, semua perasaan yang dia pendam saat namanya dipanggil sebagai peringkat satu akhirnya dia keluarkan. Matthew hanya bisa mengusap pundak Ricky, berharap bahwa itu cukup untuk menenangkan yang lebih muda.
“Seokmae, giliran kamu,” suara Hanbin membawa semua perhatian ke arah Matthew.
Matthew menelan ludah, tiba-tiba gugup akan semua mata yang tertuju kepadanya.
“Um, aku tadi udah sempet ngomong sama Kak Hanbin, aku sekarang masih ngerasa kayak aku bentar lagi bakal bangun dari tidur terus semuanya cuma mimpi doang.”
Gyuvin yang duduk di seberangnya mengatakan bahwa Matthew terlihat sangat lucu sekarang. Jiwoong tersenyum mendengarnya dan mengangguk setuju. Matthew memutuskan untuk mengabaikan interaksi tersebut, berharap pipinya yang memanas tidak mengungkapkan perasaan malunya yang dirasakannya sekarang.
“Mungkin ada beberapa dari kalian yang… aku belom terlalu deket? Karena kita jarang ngobrol sebelumnya, tapi I hope we can be closer? Karena I like this team and I think, no, I know we’re going to achieve amazing results together.”
Malam itu, mereka tidur bersama di ruang tengah setelah membersihkan semua bekas makanan. Bantal dan selimut yang ada di kamar dipindahkan ke ruang tengah untuk mereka bersembilan. Entah kenapa Matthew tidak bisa menghapus senyuman di bibirnya ketika mereka semua sudah mengambil posisi tidur masing-masing. Badannya sudah lelah, matanya sudah setengah tertutup, tetapi Matthew belum ingin hari ini berakhir.
“Kak,” bisik Gyuvin di sebelahnya, membuat mata Matthew kembali terbuka kaget, karena ia kira semuanya sudah pulas tertidur. “Belom tidur?”
Matthew menggelengkan kepalanya. “Ngga bisa tidur.”
“Sama,” jawab Gyuvin. “Kamu mikirin apa?”
Matthew melihat ke sekelilingnya. Yujin sudah tertidur pulas dengan penutup mata kartunnya yang lucu, seluruh badannya dia dekatkan dengan Hao yang merangkul perutnya longgar. Hanbin dan Gunwook tidur berhadapan satu sama lain dengan posisi yang sama persis. Taerae dan Ricky sudah tidak lagi memakai selimut mereka yang tadinya menutup tubuh mereka dengan rapi. Jiwoong mendengkur halus di samping kanannya, dan mata sayu Gyuvin yang menatapnya dengan hangat di samping kirinya.
“Aku ngga pernah sleepover sama siapapun sebelumnya. Seneng aja kita tidur bareng-bareng gini, ternyata gini rasanya sleepover.”
Gyuvin tertawa kecil dan mukanya mengkerut, reaksi yang Matthew terlalu sering lihat di muka semua orang setiap dia melakukan apapun. Matthew benar-benar tidak paham mengapa semua orang mengira dia lucu, bahkan di saat dia tidak melakukan apa-apa.
“Kamu lucu banget, kak,” ujar Gyuvin sambil mengambil tangan Matthew ke tangannya. “Siap-siap aja, kamu bakal ngerasain 600 sleepover berturut-turut. We’re stuck together for the next two and a half years.”
Matthew ingin mengatakan bahwa hitung mundur dua setengah tahun bahkan belum dimulai, bahwa sejujurnya dia takut akan apa yang akan terjadi kepada mereka setelah hitung mundur tersebut selesai, tetapi dia tidak mengatakannya. Melainkan, dia tersenyum dan mengangguk, menggenggam tangan Gyuvin sedikit lebih erat.
Sebelum Matthew terlelap, dia memikirkan rumahnya yang terpisahkan oleh satu kali perjalanan naik pesawat. Kemudian dia melihat ke sekelilingnya sekali lagi dan memutuskan bahwa sekarang dia memiliki tempat baru untuk disebut rumah. Meskipun akan butuh beberapa waktu sampai mereka bisa memanggilnya ‘rumah’ dan bukan ‘apartemen’ atau ‘dorm’.
Untuk malam ini, apartemen kecil yang masih kosong dan delapan orang yang tertidur pulas di sekelilingnya sudah cukup.
Hari berganti menjadi minggu yang berganti menjadi bulan, dan setiap hari apartemen yang mereka tinggali semakin terlihat dan terasa seperti mereka.
Di kamar mandi terdapat berbagai macam sikat gigi milik masing-masing dari mereka, dan kumpulan sabun dan sampo yang pada akhirnya menjadi milik bersama. Mereka memutuskan untuk berbagi sabun dan sampo yang sama, selain itu Hanbin dan Jiwoong juga membelikan apartemen mereka pewangi yang selalu membawa senyum ke mulut Matthew setiap mereka pulang setelah hari yang melelahkan. Pada dasarnya, mereka bersembilan memiliki wangi yang sama, yang membedakan hanyalah berbagai macam produk pribadi dan parfum yang mereka masing-masing miliki.
Lemari di dapur mereka penuh dengan berbagai macam cemilan dan beberapa paket ramen instan kesukaan mereka. Kebanyakan dari makanan yang ada berasal dari Gyuvin dan Hao. At this point, mereka sudah hafal cemilan apa saja yang setiap orang suka dan apa saja yang harus mereka beli setiap bulannya.
Ruang tengah mereka tidak pernah kosong, selalu diisi dengan mereka dan barang-barang mereka yang terletak di sana. Gitar milik Taerae yang seringnya ditaruh di sana untuk acara menyanyi spontan yang mereka sering lakukan jika ada waktu luang. Bluetooth microphone milik Matthew yang dikasih oleh kakaknya sebagai gag gift atas debutnya juga memiliki tempat permanen di ruang tengah itu. Buku belajar Bahasa Korea milik Ricky dan beberapa buku sekolah Gunwook dan Yujin juga sering kali mereka tinggalkan di meja kecil setelah sesi belajar bersama.
Seringkali Matthew dapati dirinya mengamati setiap ujung dari apartemen kecil tersebut. Bagi beberapa orang, kalau mereka mendengar bahwa apartemen ini berisi sembilan orang, mereka akan mengangkat alisnya heran. Tetapi apartemen ini tidak pernah terasa sempit bagi mereka. Sejak hari pertama mereka tinggal di sana, mereka selalu punya ruang untuk melakukan segalanya bersama.
Terkadang mereka berkumpul di ruang tengah, terkadang di salah satu dari tiga kamar yang ada, atau kadang di dapur. Tetapi jika Jiwoong dan Hanbin sedang memasak, Hao biasanya akan mengusir yang kecil dari situ karena mereka hanya akan menghabiskan masakan yang ada sebelum bisa mereka taruh di atas meja makan.
Perabotan yang ada di dalam apartemen pun mengalami berbagai macam perubahan. Sofa yang tadinya ditaruh dekat pintu masuk dipindah menghadap televisi untuk memudahkan mereka jika ingin menonton film bersama. Meja kecil yang ada di ruang tengah sering mereka alihgunakan menjadi meja makan. Kursi-kursi yang ada di ruang tengah dipinggirkan karena mereka lebih senang duduk di lantai bersama-sama.
Hari demi hari mereka habiskan bersama dalam apartemen ini. Di hari-hari di mana mereka tidak ada di sana, Matthew mendapati dirinya merindukan tempat itu. Dia sangat bersyukur akan kesempatan yang dia dapatkan untuk mengelilingi dunia bersama dengan delapan orang yang sudah dia anggap sebagai keluarga. Namun, baginya, tidak ada yang lebih membuatnya merasa aman daripada menghabiskan waktu bersama di apartemen mereka.
Pada saat mereka kembali dari Jeju setelah syuting untuk variety show mereka, Hanbin mengajak semuanya untuk makan bersama di ruang tengah, kebiasaan yang mereka secara sengaja ingin terus lakukan. Setelah malam pertama mereka di apartemen ini, mereka sudah berkali-kali makan bersama sampai sudah tidak bisa lagi dihitung jari. Tapi entah kenapa, kali ini Matthew teringat kembali kepada malam pertama mereka di apartemen ini. Matthew ingat mengatakan pada dirinya sendiri bahwa mereka masih butuh waktu untuk memanggil tempat ini rumah. Dia mendapati dirinya berpikir, apakah tempat ini sudah menjadi rumah sekarang?
Dari hal-hal kecil seperti Gyuvin yang mengatakan “ngga sabar, deh, pulang ke rumah buat tidur” saat mereka memiliki jadwal yang padat. Atau Hao yang selalu teriak “I’m home” dengan nada tingginya setiap dia kembali dari berbelanja. Atau Yujin yang mengatakan “home sweet home” setiap kembali dari sekolah. Atau Hanbin yang mengatakan “nanti makan malem di rumah pada mau beli apa?”. Atau mungkin dirinya sendiri yang sering mengucapkan “aku udah di rumah ya” saat mengabari keluarganya lewat chat setelah seharian beraktivitas di luar.
Di tengah segala kehebohan mempersiapkan langkah pertama mereka, mereka tanpa sadar sudah membuat tempat kecil ini menjadi rumah mereka. Segala sudut tempat ini sudah dipenuhi dengan mereka, baik barang maupun memori. Tempat yang awalnya hanya berisi perabotan standar sudah diwarnai oleh hidup dan kenangan yang dilalui mereka bersembilan yang Matthew tahu bahwa akan terus bertambah.
Matthew teringat akan perkataan mamanya, bahwa ‘rumah’ tidak harus melulu tentang sebuah tempat. Di mana pun kita berada, kita bisa menamai tempat itu ‘rumah’ selama ada mereka yang kamu cintai di dalamnya. Dia berpikir kembali ke rumahnya di Kanada dan bagaimana tempat tersebut sudah menjadi rumahnya selama dua puluh satu tahun hidupnya — orangtuanya, kakaknya, anjingnya, kamar masa kecilnya, semua ada disitu. Kemudian dia melihat ke sekeliling ruang tengah di mana delapan orang yang dia sayangi sedang asyik memakan makan malam sambil bercanda tawa membicarakan semua hal yang ada di pikiran mereka.
Kamu bisa namai tempat apapun rumah selama ada mereka yang kamu cintai di dalamnya, perkataan itu sekali lagi muncul di kepalanya.
Pada malam itu, ditemani dengan suara tawa dan kehangatan dari hadirnya mereka bersembilan yang sangat kontras dengan udara di luar, Matthew memutuskan bahwa tempat ini bukan lagi sekedar apartemen tempat mereka tinggal, melainkan rumah tempat hatinya akan selalu ingin kembali setelah perjalanan panjang yang dilaluinya setiap hari.
Semua yang mengisi tempat kecil ini — peralatan masak yang dibeli oleh Jiwoong, biola milik Hao, Radio kecil milik Hanbin, dumbel merah muda miliknya, gitar kesayangan Taerae, buku belajar Bahasa Korea milik Ricky, cemilan yang ada di dalam koper Gyuvin, tas sekolah Gunwook yang sudah lama tidak dipakai, sepatu sekolah Yujin yang selalu ada di rak sepatu paling atas, dan pemandangan mereka bersembilan duduk menikmati kehadiran satu sama lain — adalah rumah.
© seokmaeji, 2023.